Beranda | Artikel
Fathu Makkah (Tahun ke-8 H, Bagian-1)
Sabtu, 6 Agustus 2016

FATHU MAKKAH (TAHUN KE-8H) 

Oleh

Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc, MA

SEBAB-SEBAB YANG MEMICUNYA

Musyrikin Quraisy melakukan kesalahan besar ketika membantu sekutunya -Bani Bakr- untuk melawan Khuzâ’ah –sekutu kaum Muslimin-, yaitu dengan memberi senjata, kuda dan pasukan. Bani Bakr dan sekutu mereka pun menyerang Kabilah Khuzâ’ah di sebuah daerah bernama al-Watîr. Mereka membunuh lebih dari dua puluh orang anggota Khuzâ’ah. Suku Khuzâ’ah yang belum siap berperang tadi lantas berlindung ke tanah suci (Mekkah) untuk menyelamatkan diri dari kejaran Bani Bakr dan sekutunya (Quraisy). Sesampainya di Mekkah, Khuzâ’ah berkata kepada panglima musuhnya, “Hai Naufal, kami sekarang berada di kawasan suci tuhanmu!” Namun Naufal justru menukas, “Tidak ada tuhan hari ini… hai Bani Bakr, lampiaskan dendam kalian!” teriaknya.[1]

Seketika itu, ‘Amru bin Salîm al-Khuzâ’i beserta empat puluh orang suku Khuzâ’ah lari mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka telah diserang oleh Bani Bakr yang dibantu Quraisy. ‘Amru lalu menggubah delapan bait sya’ir yang ditujukan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk minta tolong atas nama Allâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas, “Engkau akan ditolong, hai ‘Amru bin Salim! Allâh tidak akan menolongku jika aku tidak menolong Bani Ka’ab (Khuzâ’ah).” Bahkan ketika mendadak ada sebongkah awan yang lewat, beliau mengatakan, “Sesungguhnya awan ini muncul sebagai pertanda kemenangan Bani Ka’ab.”[2]

Diriwayatkan, bahwa setelah Rasûlullâh memastikan kebenaran berita yang dibawa oleh Khuzâ’ah tadi, beliau mengirim utusan kepada Quraisy dan berkata, “Amma ba’du, jika kalian siap memutus hubungan dengan Bani Bakr dan membayar diyat atas korban suku Khuzâ’ah; maka lakukanlah. Namun jika kalian tidak mau, berarti kuumumkan perang atas kalian!”

Pesan ini dijawab oleh Qaradhah bin Abdi Amru bin Naufal bin Abdi Manaf (ipar Mu’âwiyah), “Sesungguhnya Bani Bakr adalah kaum yang membawa sial. Kalau kami membayar diyât atas korban yang mereka bunuh, maka harta kami akan ludes semua. Kami juga tidak bisa memutus hubungan dengan mereka, karena tidak ada lagi yang seagama dengan kami selain mereka.”[3]

Quraisy lantas mengutus Abu Sufyân ke Madinah untuk mengukuhkan perjanjian damai dan memperpanjang temponya. Setibanya di Madinah, ia menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan hajatnya. Namun Nabi berpaling dan tidak menggubrisnya. Abu Sufyân pun minta tolong melalui para sahabat senior semisal Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali agar menjadi penengah antara dirinya dengan Rasûlullâh, namun mereka semua menolaknya.

Abu Sufyân Radhiyallahu anhu lantas kembali ke Mekkah dengan tangan hampa. Konon diriwayatkan, bahwa ketika di Madinah, ia singgah di rumah puterinya –Ummul Mukminin Ummu Habîbah-, dan ketika hendak duduk di atas tikar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Ummu Habîbah segera melipatnya. Abu Sufyân pun heran dan bertanya, “Hai puteriku, aku tidak tahu, apakah kamu melakukannya karena tidak suka pada tikar itu, ataukah karena tidak suka kepadaku?” Maka jawab Ummu Habîbah, “Ini adalah tikar Rasûlullâh, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis”. Maka Abu Sufyan berkata, “Demi Allâh, engkau jadi tidak baik setelah berpisah denganku”.[4]

Menurut Dr. Ali Shallâbi, sikap Ummu Habîbah ini tidak mengherankan. Sebab ia termasuk Muhâjirin yang hijrah dua kali, yaitu ke Habasyah dan ke Madinah. Jadi, ia telah lama putus hubungan dengan budaya jahiliyah dan tidak bersua dengan ayahnya sejak 16 tahun. Namun ketika ia bersua dengan ayahnya, ternyata sang ayah bukanlah orang yang pantas dihormati, sebab ia menganggapnya sebagai dedengkot kekafiran yang menghalangi penyebaran Islam dan memerangi Rasûlullâh selama 16 tahun tersebut. Demikian pula sikap para sahabat dalam menerapkan aturan wala’ wal bara’ demi mengukuhkan dakwah Islam dan eksistensi kaum muslimin. Sikap Ummu Habîbah terhadap ayahnya yang demikian tegas, padahal ayahnya adalah orang terpandang di mata Quraisy dan orang Arab secara umum; menunjukkan betapa kuat keimanannya yang tertanam di dalam hati Ummu Habîbah Radhiyallahu anhuma. Ini juga menunjukkan betapa gigihnya para sahabat dalam memelihara jatidiri mereka sebagai muslim serta meningkatkan rasa percaya diri mereka.[5]

Berkenaan dengan tekad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaklukkan kota Mekkah, hal ini selain karena wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , juga beberapa faktor berikut.

  1. Meningkatnya kekuatan kaum Muslimin di kota Madinah, yang kali ini benar-benar bebas dari ancaman internal kaum Yahudi. Sebab eksistensi Yahudi di Madinah telah berakhir seiring dengan pemberangusan Yahudi Bani Qainuqa’, Bani Nadhîr, dan Bani Quraidhah plus Yahudi Khaibar.
  2. Melemahnya kekuatan kaum kafir di kota Madinah, terutama yang dipimpin oleh kaum munafikin setelah kehilangan sekutu utama mereka dari kalangan Yahudi Madinah.
  3. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh perhatian besar dalam meningkatkan kekuatan militer Islam, dengan mengirim sejumlah ekspedisi militer selama periode gencatan senjata dengan pihak Quraisy. Sehingga dengan begitu, kekuatan kaum Muslimin melebihi kekuatan musyrikin Quraisy dari segi jumlah pasukan maupun persenjataan.
  4. Penaklukan Mekkah terjadi setelah Daulah Islam Madinah memiliki kekuatan ekonomi, dan kekuatan ekonomi Quraisy melemah. Hal itu diawali dengan penaklukan kota Khaibar yang memberi ghanimah sangat besar kepada kaum Muslimin. Sedangkan perniagaan Quraisy justru terhambat akibat adanya sekelompok kaum muslimin yang lari dari Mekkah dan tidak menetap di Madinah, akan tetapi menetap di tengah jalur perniagaan Quraisy, dan itu karena mereka telah menandatangi perjanjian Hudaibiyah tahun ke 6 H, yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa siapa saja yang lari dari Mekkah ke Madinah, maka harus dikembalikan ke Mekkah. Oleh karena itu, mereka yang lari menyelamatkan agamanya dari Mekkah justru berkumpul di tengah jalan untuk mengganggu kepentingan kaum yang selama ini menindas mereka, yaitu Quraisy. Inilah salah satu hikmah besar di balik perjanjian Hudaibiyah yang mulanya dianggap merugikan kaum muslimin.
  5. Tersebarnya Islam di kabilah-kabilah Arab sekitar kota Madinah, dan ini menimbulkan rasa aman bagi kekuasaan pusat (Madinah) ketika hendak mengambil keputusan militer untuk mengirim pasukan secara besar-besaran ke luar kota.
  6. Adanya alasan utama untuk menaklukkan kota Mekkah, yaitu karena Quraisy telah melanggar konsekuensi dari perjanjian damai yang telah disepakati di Hudaibiyah.[6]

PERSIAPAN MENJELANG KEBERANGKATAN

Dengan memperhatikan sepak terjang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendirikan Daulah Islamiyah, membangun masyarakat, mengirim ekspedisi militer, dan memimpin sejumlah peperangan, maka kita dapat mempelajari bagaimana cara beliau dalam menerapkan ajaran ‘menempuh sebab-sebab’. Baik sebab-sebab yang bersifat material maupun spiritual.

Dalam penaklukan kota Mekkah, kita lihat secara jelas bagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha menyembunyikan rencana ini serahasia mungkin sebelum memutuskan untuk berangkat. Hal ini beliau maksudkan agar Quraisy tidak menyadari rencana besar tersebut, sehingga mereka berkesempatan untuk menyiapkan kekuatan dalam menghadapi serbuan kaum muslimin.

Secara garis besar, sebab-sebab yang beliau tempuh adalah sebagai berikut.

  • Beliau merahasiakan rencana ini dari orang-orang terdekat beliau.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja menerapkan prinsip ‘rahasia mutlak’ bahkan kepada orang-orang terdekat seperti Abu Bakar dan Aisyah, padahal keduanya adalah manusia-manusia yang paling beliau cintai. Tidak ada seorang pun yang mengetahui rencana beliau sebenarnya, tidak pula lokasi tujuan maupun pihak yang akan dihadapi. Hal ini dibuktikan tatkala Abu Bakar Radhiyallahu anhu bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang tujuan keberangkatan beliau, maka kata Aisyah Radhiyallahu anhuma , “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan apa-apa kepada kami”.

Dari sini, terdapat pelajaran penting yang bisa dipetik oleh para petinggi militer. Bahwa strategi militer harus dirahasiakan, bahkan dari isteri-isteri mereka sendiri. Sebab boleh jadi isteri kita membocorkan rahasia tersebut dengan maksud yang baik, sehingga tersebarlah rahasia tersebut dan berantakanlah rencana yang telah disusun rapi.

  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ekspedisi militer yang dipimpin oleh Abu Qatâdah ke daerah Bathni Izham.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sebuah kompi pasukan yang terdiri dari delapan orang sebelum keberangkatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekkah untuk menutupi maksud beliau yang sesungguhnya. Hal ini dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad dengan mengatakan, “Ketika Rasûlullâh berniat menaklukkan kota Mekkah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Qatadah ibnu Rib’îy dalam pasukan berjumlah delapan orang menuju Bathni Izham.[7] Ini sengaja dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar ada yang menduga bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuju ke sana dan agar berita ini tersiar. Mereka pun berangkat ke sana dan ternyata tidak bertemu siapa-siapa. Mereka lalu kembali hingga tatkala singgah di Dzi Khusyub,[8] sampailah kabar kepada mereka bahwa Nabi dan para sahabatnya bergerak menuju Mekkah. Mereka lantas menyusul pasukan induk hingga bertemu di suatu tempat bernama as-Suqya.[9]

Ini merupakan manhaj Nabawi yang bijak dalam mengajarkan kepada para panglima sepeninggal beliau, bahwa mereka wajib waspada dan menempuh segala macam cara untuk mengaburkan pengamatan pihak musuh terhadap rencana-rencana militer kaum muslimin, agar jihad mereka berhasil dan mereka selamat dari perangkap musuh.[10]

  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sejumlah mata-mata untuk mencegah bocornya informasi ke pihak musuh.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tim mata-mata untuk mencari informasi di dalam kota Madinah maupun di luarnya, untuk memastikan bahwa tidak ada informasi yang sampai ke pihak Quraisy. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja mengumpulkan sejumlah orang yang memiliki relasi luas di antara kaumnya, lalu menugaskan Umar bin Khatthab untuk mendatangi orang-orang tersebut dan berpesan kepada mereka, “Jangan biarkan seorang pun yang tidak kalian kenal untuk lewat di daerah kalian, namun tolaklah dia… kecuali orang yang hendak berangkat ke Mekkah atau ke arah Mekkah, maka ia harus diwaspadai dan ditanya”.[11]

  • Doa beliau agar Allâh menyembunyikan rencana ini dari mata-mata Quraisy.

Setelah menempuh semua sebab manusiawi yang mampu beliau lakukan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menujukan harapan dan doanya kepada Allâh agar Dia menutup penglihatan dan pendengaran mata-mata Quraisy darinya. Dalam doanya yang khusyuk, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

اَللَّهُمَّ خُذْ عَلَى أَسْمَاعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ، فَلاَ يَرَوْنَا إِلاَّ بَغْتَةً وَلاَ يَسْمَعُونَ بِنَا إِلاَّ فَجْأَةً

Ya Allâh, tutuplah pendengaran dan penglihatan mereka, sehingga mereka tidak melihat kami melainkan tiba-tiba, dan tidak pula mendengar kedatangan kami melainkan mendadak.[12]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat Maghâzi al-Wâqidi (2/781-784) dan Sirah Ibnu Hisyâm (4/39).

[2] Sirah Ibnu Hisyâm (4/44) dan al-Bidâyah wan-Nihâyah (4/278).

[3] Lihat al-Mathâlibul ‘Âliyah (4/243 no 4361). Menurut Ibnu Hajar, riwayat ini mursal namun sanadnya shahîh.

[4] Lihat al-Bidâyah wan-Nihâyah (4/479) dan Sirah Nabawiyah, Ali Shallaabi, hlm. 448.

[5] Idem, hlm. 449.

[6] Lihat Sirah Nabawiyah, oleh Abi Faris, hlm. 401.

[7] Nama sebuah wadi (lembah) di Madinah, tempat berkumpulnya tiga wadi: Bath-han, Qanah, dan ‘Aqieq.

[8] Nama tempat yang berjarak satu marhalah (35 mil) dari kota Madinah ke arah Syam (utara).

[9] Sebuah tempat yang terletak di Wadil Qura. Lihat Thabaqât Ibnu Sa’ad (2/132).

[10] Lihat al-Qiyâdah al-‘Askariyah, hlm. 498.

[11] Lihat Maghâzi al-Wâqidi (2/796).

[12] Lihat al-Bidâyah wan-Nihâyah (4/282). Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dalâilun Nubuwwah (no 1758), dan disebutkan di sana bahwa Nabi mengucapkannya ketika Abu Sufyan berpaling dari beliau.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5492-fathu-makkah-tahun-ke8-h-bagian1.html